Pendiri Taman Siswa ini adalah Bapak Pendidikan Nasional. Lahir di
Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Hari lahirnya, diperingati sebagai
Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah
tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan),
ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa),
ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan). Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 28 April 1959 dan dimakamkan di sana.
Terlahir dengan nama
Raden Mas Soewardi Soeryaningrat.
Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas
Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan
Tahun Caka, berganti nama menjadi
Ki Hadjar Dewantara.
Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di
depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan
rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.
Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian
demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah
Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter
Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja
sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden
Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan
Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya
sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan
semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam
organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi
propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran
masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan
kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr.
Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik
pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember
1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.
Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status
badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah
kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi
kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11
Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap
dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan
untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.
Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische
Partij ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913.
Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan
Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu
melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan
seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan
menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan
tersebut.
Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat
tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang
Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua,
tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda
yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu
antara lain berbunyi:
“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan
pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas
kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak
adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan
sumbangan untuk dana perayaan itu.
Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina
mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan
lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung
perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa
bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia
sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun”.
Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur
Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa
hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk
sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat
tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.
Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan
diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada
membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut
rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial.
Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker
dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.
Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana
mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil.
Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai
bagian dari pelaksanaan hukuman.
Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan
pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil
memperoleh Europeesche Akte.
Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia
mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat
perjuangan meraih kemerdekaan.
Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan
seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak
nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional
Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan
pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai
bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa.
Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan
Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan
memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.
Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan
di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya
beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan
kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan
itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi
bangsa Indonesia.
Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang
politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang
membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk
sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad
Hatta dan K.H. Mas Mansur.
Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai
Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki
Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan
pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal
kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga
ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan
Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan
lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari
Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.
Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia
meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan
di sana.
Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan
Museum Dewantara Kirti Griya,
Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki
Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau
karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam
kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep
dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki
Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang
seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan
Arsip Nasional.
Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan
pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa
membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status
ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada
nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.
Konsep Pendidikan Tamansiswa :
Tamansiswa adalah badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan
masyarakat yang menggunakan pendidikan dalam arti luas untuk mencapai
cita-citanya. Bagi Tamansiswa, pendidikan bukanlah tujuan tetapi media
untuk mencapai tujuan perjuangan, yaitu mewujudkan manusia Indonesia
yang merdeka lahir dan batinnya. Merdeka lahiriah artinya tidak
dijajah secara fisik, ekonomi, politik, dsb; sedangkan merdeka secara
batiniah adalah mampu mengendalikan keadaan.
Tamansiswa
anti intelektualisme; artinya siapa pun tidak boleh hanya mengagungkan kecerdasan dengan mengabaikan faktor-faktor lainnya. Tamansiswa mengajarkan
azas keseimbangan
(balancing), yaitu antara intelektualitas di satu sisi dan personalitas
di sisi yang lain. Maksudnya agar setiap anak didik itu berkembang
kecerdasan dan kepribadiannya secara seimbang.
Tujuan pendidikan Tamansiswa adalah membangun anak didik menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, merdeka
lahir batin, luhur akal budinya, cerdas dan berketerampilan, serta
sehat jasmani dan rohaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang
mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air,
serta manusia pada umumnya. Meskipun dengan susunan kalimat yang
berbeda namun tujuan pendidikan Tamansiswa ini sejalan dengan tujuan
pendidikan nasional.
Kalau di Barat ada “Teori Domein” yang diciptakan oleh Benjamin S.
Bloom yang terdiri dari kognitif, afektif dan psikomotorik maka di
Tamansiswa ada
“Konsep Tringa” yang terdiri dari
ngerti (mengeta-hui),
ngrasa (memahami) dan
nglakoni
(melakukan). Maknanya ialah, tujuan belajar itu pada dasarnya ialah
meningkatkan pengetahuan anak didik tentang apa yang dipelajarinya,
mengasah rasa untuk meningkat-kan pemahaman tentang apa yang
diketahuinya, serta meningkatkan kemampuan untuk melaksanakan apa yang
dipelajarinya.
Pendidikan Tamansiswa dilaksanakan berdasar
Sistem Among,
yaitu suatu sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan
kodrat alam dan kemerdekaan. Dalam sistem ini setiap pendidik harus
meluangkan waktu sebanyak 24 jam setiap harinya untuk memberikan
pelayanan kepada anak didik sebagaimana orang tua yang memberikan
pelayanan kepada anaknya.
Sistem Among tersebut berdasarkan cara berlakunya disebut Sistem
Tutwuri Handayani. Dalam sistem ini orientasi pendidikan adalah pada
anak didik, yang dalam terminologi baru disebut
student centered.
Di dalam sistem ini pelaksanaan pendidikan lebih didasarkan pada minat
dan potensi apa yang perlu dikembangkan pada anak didik, bukan pada
minat dan kemampuan apa yang dimiliki oleh pendidik. Apabila minat anak
didik ternyata akan ke luar “rel” atau pengembangan potensi anak didik
di jalan yang salah maka pendidik berhak untuk meluruskannya.
Untuk mencapai tujuan pendidikannya, Tamansiswa menyelanggarakan
kerja sama yang selaras antartiga pusat pendidikan yaitu lingkungan
keluarga, lingkungan perguruan, dan lingkungan masyarakat. Pusat
pendidikan yang satu dengan yang lain hendaknya saling berkoordinasi
dan saling mengisi kekurangan yang ada. Penerapan sistem pendidikan
seperti ini yang dinamakan Sistem Trisentra Pendidikan atau Sistem
Tripusat Pendidikan.
Pendidikan Tamansiswa berciri khas
Pancadarma, yaitu
Kodrat Alam (memperhatikan sunatullah),
Kebudayaan (menerapkan teori Trikon),
Kemerdekaan (memperhatikan potensi dan minat maing-masing indi-vidu dan kelompok),
Kebangsaan (berorientasi pada keutuhan bangsa dengan berbagai ragam suku), dan
Kemanusiaan (menjunjung harkat dan martabat setiap orang).